Blog Baru Seorang Kawan…Iman Prihandono

Saya mengenalnya sebagai housemate yang sangat baik ketika kami sedang sekolah di Sydney. Dia kuliah pada Fakultas Hukum University of Sydney, sementara saya di ekonomi. Meski berbeda bidang studi, satu hal yang sama,…sama-sama percaya mekanisme pasar…he..he.he. Belakangan beliau membuat blog baru dengan semangat baru untuk berbagi pengetahuan soal hukum. Blognya dapat di klik disini.

2 Komentar

Filed under Uncategorized

Kebijakan Muslihat

Kebijakan konversi BBM sudah penuh masalah. Artikel bagus dari Faisal Basri di Kompas mengulasnya.

3 Komentar

Filed under Uncategorized

Antara Mekanisme Pasar dan Pemerintah

Evaluasi keadilan (fairness) dalam sebuah kebijakan publik mestinya melihat keadilan dalam artian pertama setiap individu harus mendapatkan apa yang diusahakannya sendiri tanpa hambatan apa-pun (prinsip dari the First Welfare Theorem). Dan, andai sebuah kebijakan punya tuntutan pemerataan, maka desain kebijakan yang redistributif tidak merusak keinginan (insentif) individu-individu untuk mengejar keinginannya (prinsip dari the Second Welfare Theorem).

Kebijakan ini sudah pasti tidak memenuhi dua kriteria keadilan diatas. Pertama, subsidi BBM pun tidak memenuhi dua kriteria keadilan diatas. Karena konsumen BBM premium menikmati harga yang relatif lebih murah dari harga yang semestinya (menikmati sesuatu yang melebihi dari apa yang diusahakan). Kedua, uang yang digunakan subsidi merupakan kebijakan resdistribusi yang tidak memenuhi standar kriteria kedua-ketika tidak semua orang menggunakan BBM premium mengapa setiap orang harus mensubsidi kelompok pengguna. Maka bagaimana bisa mengharapkan kebijakan “Distribusi BBM bersubsidi” akan lebih adil.

Dalam hal keadilan sepertinya mekanisme pasar seringkali lebih baik dan adil  ketimbang pemerintah.

3 Komentar

Filed under Uncategorized

Soal larangan terbang ke UE

Sepertinya sudah menjadi tipikal kebanyakan politisi dan birokrat kita yang lebih mudah menuduh kealpaan diri sendiri kepada orang. Dan sepertinya menjadi begitu senang dengan ide konspirasi yang memojokkan Indonesia. Demikian halnya dengan larangan terbang sejumlah maskapai Indonesia ke Uni Eropa (UE).  Komentar ini, ini dan ini menunjukkan tipikal itu.

Untung laporan yang lain menunjukkan betapa kita begitu alpa dengan kesalahan sendiri dan begitu mudah menyalahkan orang lain.

Tinggalkan komentar

Filed under Uncategorized

Mencari desain sistem yang rasional

Seorang teman selalu mengatakan bahwa desain sistem (politik maupun hukum) di Indonesia selalu memandang manusia sebagai mahluk yang beretika. Namun kita juga kerap melihat bahwa kenyataan itu rasanya tidak benar. Berikut opini saya mengenai kekecewaan Saldi Isra, guru besar hukum Universitas Andalas, terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA) menyangkut kasus korupsi anggota DPRD Sumbar di sini. Berikut opini saya di Kompas masih menyangkut soal yang sama disini.

Tinggalkan komentar

Filed under desain sistem, hukum

Jumlah orang kaya mestinyamengurangi pengangguran…heh?

Itu kira-kira ekspektasi dari ulasan tentang ekonomi disini (dikutip dari majalah Gatra). Saya kutip:

Pengamat ekonomi dari Institute for Development and Finance, Avilliani, mengungkapkan bahwa naiknya jumlah orang kaya di Tanah Air ternyata tidak mempengaruhi kemampuan sektor riil dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini disebabkan kekayaan yang beredar hanya bergulir di pasar uang dan pasar modal. Sebagai bukti, naiknya jumlah orang kaya ini tidak secara signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya kemiskinan.

Melihat kondisi demikian, Aviliani menyimpulkan bahwa melonjaknya jumlah milyarder itu kurang bermanfaat terhadap negara, melainkan lebih pada individu saja. “Angka itu menunjukkan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,” katanya kepada Gatra

Bukan hal yang mengherankan sebetulnya kenapa jumlah orang kaya tidak mengurangi pengangguran atau orang miskin. Karena, jawaban sederhana, proses perumusan masalahnya saja sudah tidak tepat. Tentu saja pengeluaran saya untuk membeli sekian mobil mewah tidak akan terkait dengan pengurangan kemiskinan dan pengangguran (dan secara intuisi saja, tanpa perlu menguji signifikansi agka-angka statistik). Tetapi persoalan penting sebetulnya apakah jumlah orang kaya relevan untuk dikaitkan dengan “pengurangan kemiskinan” atau “pertumbuhan” yang mestinya dijawab. Jawaban saya, tentu tidak sama sekali. Menjadi berbeda bila kita berbicara soal ketimpangan, jumlah orang kaya tentu menjadi relevan disini.

Lantas mungkin kita berpikir bukankah ketimpangan bisa saja berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kemiskinan, iya mungkin saja. Akan tetapi menarik garis langsung antara jumlah orang kaya dan pengurangan pengangguran dan pertumbuhan ekonomi…..mmmm…membuat saya mengerutkan dahi.

6 Komentar

Filed under jurnalisme

Terlalu Jargon….

Tempo hari saya pernah mengulas sebuah tulisan di Kompas. Kali ini saya tertarik pada ulasan lain di harian Kompas soal kondisi ekonomi international terkini ( belum ada linknya) . Komentar pendek soal tulisan itu: terlampau banyak jargon dan terkesan menjadi opini ketimbang ulasan berita yang menarik. Mungkin ekpektasi saya terlampu tinggi tapi mengingat harian sebesar Kompas, rasanya wajar bila saya berharap bahwa ulasan berita (ataupun kutipan atas kutipan berita) Kompas lebih baik kualitasnya. Saya kutip paragraf awal ulasan tersebut :

 

Spekulan berduit banyak, yang mencari untung dari naik turunnya harga saham dan komoditas, telah menjadi musuh dunia. Jika mereka berada di bawah kekuasaan Orde Baru di Indonesia, mereka bisa dituduh melakukan subversi ekonomi. Mengapa? Merekalah yang membuat ekonomi dunia terancam resesi lewat spekulasi yang menyebabkan krisis kredit di sektor perumahan AS

 

Saya bukanlah lulusan jurnalistik, namun membaca paragraf awal saja menurut saya sangat tidak pas mengaitkan konteks spekulan (entah berduit banyak atau tidak) dengan konteks kekuasaan orde baru apalagi subversi ekonomi. Paragraf pertama praktis tidak memberikan makna apa pun kecuali jargon. Kita mungkin tidak menyukai aksi spekulasi, tetapi mengidentikkan spekulan sebagai musuh yang seolah-olah melakukan aksi yang harus diperangi, rasanya menjadi lucu. Paragraf yang mestinya lebih pas untuk koran atau majalah kampus ketimbang harian sebesar Kompas.

 

Kekeliruan (yang cukup fatal) lain, saya kutip disini:

 

“…..Posisi short adalah sebutan bagi aksi spekulan yang mencari untung, walau juga bisa rugi, dari transaksi-transaksi spekulatif jangka pendek untuk keuntungan jangka pendek…..”

 

“….Para spekulan menggunakan dana-dana itu berspekulasi di pasar minyak. Mereka mengambil posisi short untuk spekulasi bahwa harga minyak akan naik. Tidak heran jika harga minyak akan mendekati level 100 dollar AS per barrel. Mereka memainkan isu geopolitik yang memanas untuk mendongkrak harga lebih tinggi lagi…”

 

Dua kutipan paragraf diatas menunjukkan bahwa penulis tidak begitu paham makna dari “short position” dalam istilah keuangan. Ini terlihat dengan membaca kutipan paragraf pertama yang tidak konsisten. bagaimana mungkin mereka (spekulan) melakukan posisi short yang bertujuan mencari untung tetapi (ditulis) “walau juga bisa rugi”.

 

Posisi short dalam istilah keuangan artinya posisi “menjual” aset dan posisi long itu posisi “membeli” aset. Istilah short dan long position tidak sama dengan short atau long terms dalam konteks memegang aset (maksudnya memegang aset dalam jangka pendek atau jangka panjang).

 

Tidak mengertinya sang penulis dengan apa yang diulas lebih jelas lagi pada kutipan paragaraf kedua. Kalimat “Mereka mengambil posisi short untuk spekulasi bahwa harga minyak akan naik” menjadi ambigu. Bila konteks spekulasi diartikan dengan ekspektasi, maka aksi spekulasi “standar” dalam situasi ini mestinya melakukan posisi long (long position yang artinya membeli aset) dan bukan posisi short. Artinya membeli aset ketika aset tersebut diperkirakan akan meningkat nilainya di masa yang akan datang.

 

Posisi short yang mungkin dimaksud penulis adalah durasi memegang aset yang bersifat jangka pendek, tapi sebagaimana mana yg dibahas diatas, posisi short adalah posisi menjual dan tidak ada kaitannya dengan soal lama memegang aset.

 

Membaca ulasan ini seluruhnya pada akhirnya seperti membaca ulasan strategi perang. Padahal situasinya jauh dari itu. Mungkin ada baiknya bila jurnalis Kompas melihat bagaimana harian the Guardian (yang beritanya dikutip dan diulas oleh Kompas) mengulas suatu berita.

1 Komentar

Filed under jurnalisme

Lagi tentang teknologi informasi: Google dan Sitemeter

Ini benar-benar posting iseng. Awalnya hanya melihat-lihat situs wordpress saya, mengecek angka statistik pengunjung :D, dan komentar. Kebetulan saja saya teringat edisi The Economist minggu ini yang mengangkat tema tentang Google, salah satu searching engine internet yang besar. Majalah ini mengulas bagaimana Google dikritik sana-sini. Salah satu kritik menarik adalah bagaimana sistem searching Google bisa menghapus privasi kita. Bayangkan saja bila informasi diri bisa terlacak dengan Google.

Dan itu memang terbukti. Hari ini, saya ngobrol dengan teman yang kebetulan sedang kuliah di eropa. Salah satu teknologi “ngobrol“ melalui internet yang sering dipakai tidak lain Yahoo Messenger-saya juga mesti berterima kasih juga nih sama Yahoo :D. Ia memberikan nomor teleponnya, tetapi sialnya komputer saya kehabisan baterai sehingga saya belum sempat menyimpan kontaknya. Saya ingat sedikit nomor itu tapi kemudian saya iseng-iseng searching di Google (istilahnya Googling) dan kaget ternyata nomornya ada di Google. Luar biasa :D.

Posting ini juga tentang Sitemeter-semacam mesin pelacak pengunjung yang bisa kita pasangkan pada situs semacam WordPress ataupun Blogspot. Dari sana kita bisa mengecek berapa banyak orang yang datang ke situs milik kita dan tidak hanya itu, asal dan provider sang pengunjung pun bisa terdeteksi. Termasuk berapa lama ia melihat situs kita. Mesin ini tentu sangat membantu sekali, fungsi statistik itu pasti, tapi kadang kita tertarik pula pada sebaran pengunjung yang datang.

Bahkan kemampuan mesin ini untuk berfungsi sebagai detektif pencari jejak bisa dilakukan. Ya, saya pikir ini sudah menjadi problem setiap orang yang memiliki situs pribadi di WordPress ataupun Blogspot yaitu soal komentar. Kadang pengunjung datang dan memberi komentar tanpa mencantumkan nama atau identitas yang sebenarnya. Padahal salah satu fungsi WordPress dan Blogspot adalah tempat diskusi dan bertukar ide-sudah pasti sulit untuk diskusi tanpa mengetahui identitas. Mungkin tidak setiap orang menyadari hal ini.

Tapi bagi pemilik situs pribadi, mesin ini sangat membantu sekali. Karena terkadang kita bisa melacak kira-kira lokasi sang pemberi komentar dan kalau beruntung bahkan sang komentar itu sendiri :D. Dan lagi-lagi saya terbantukan dengan mesin ini. Yah sebagaimana pernah saya posting disini, teknologi informasi membuat orang semakin sulit membohongi orang lain.

Update:

Dengan teknologi internet ini akhirnya saya bisa melacak seorang pengunjung yang memberikan komentar dengan nada arogan tapi sayang cukup pengecut dan tidak bertanggung jawab. Dalam salah satu posting, ia memberikan komentar dan link situs yang ternyata milik salah satu lab kampus MIT di AS. Sebagaimana saya duga sejak awal, sepertinya ia tidak berasosiasi langsung dengan institusi MIT. Informasi tentangnya cukup lengkap dan ini yang membuat saya tertawa. 

Mungkin saja ia “merasa” kuliah pada “kelas jauh” MIT (atau mungkin MIT cabang Eropa 😀 ) di salah satu negara di Eropa-memang setahu saya kampus MIT membuat bahan-bahan kuliahnya open source bagi setiap mahasiswa di dunia. Well, meminjam kata-kata pada salah satu program acara di TV swasta Indonesia : “mimpi kali ye”  😀

7 Komentar

Filed under Google, Sitemeter, Teknologi Informasi

Xenophon, The Melian Dialogue dan Komitmen (2)

Bagi yang tidak menggeluti studi hubungan internasional mungkin cerita the Peloponnesian War merupakan kisah yang belum pernah terdengar. Tetapi dari apa yang saya ketahui, the Peloponnesian War bertutur mengenai pertempuran klasik lampau yang terjadi antara Athena dengan liga Peloponnesian yang dipimpin oleh Sparta. Sementara The Melian Dialogue, yang ditulis oleh Thucydides-yang juga jendral Athena, merupakan kisah tentang negosiasi dan bargaining antara Athena dengan Melos- pulau kecil yang menjadi bagian dari koloni Lacedaemon dan bergabung dalam liga Peloponnesian dibawah Sparta.

Dalam dialog ini Athena memberikan pilihan kepada Melos antara tunduk dibawah kekuasaan Athena dan memberikan upeti kepada Athena atau menolak tunduk dan dengan begitu dihancurkan.

Thucydides berada pada sisi Athena. Mengamati apa yang ditulis menarik sekali, setidaknya menggambarkan apa yang ada dibenak para negosiator Athena sebelum bernegosiasi dengan Melos. Thucydides menulis:

The Melians are a colony of Lacedaemon that would not submit to the Athenians like the other islanders, and at first remained neutral and took no part in the struggle, but afterwards upon the Athenians using violence and plundering their territory, assumed an attitude of open hostility

Paragraf itu adalah penggalan yang ditulis sebelum dialog, yang artinya sebelum negosiasi antara Athena-Melos dimulai. Dari sini terlihat bahwa sejak awal sepertinya Thucydides sudah menaruh rasa curiga pada orang Melos. Sebenarnya persepsi awal semacam ini yang turut mempengaruhi kesuksesan sebuah negosiasi (bargaining). Karena pada akhirnya output yang diharapkan dari sebuah negosiasi adalah komitmen dari kedua belah pihak-apapun bentuknya.

Dalam negosiasi ini, Athena-serupa dengan Xenophon, menggunakan cara “ancaman” (threat) untuk memunculkan komitmen. Dengan menempatkan pasukannya pada situasi antara jurang dan pasukan persia, Xenophon memberikan “ancaman” pada pasukannya agar berkomitmen melawan persia. Sementara Athena, dengan memperlihatkan kekuatan militernya, ia berharap Melos berkomitmen untuk tunduk dibawahnya.

Schelling berpendapat bahwa komitmen terkait (ataupun terbentuk) dari janji (promise) dan ancaman (threat). Dengan mengancam Melos, Athena berharap bahwa Melos akan berkomitmen untuk tunduk dibawah Athena. Namun ancaman (threat) akan menjadi efektif bila ia memiliki daya persuasif. Sementara daya persuasif itu sendiri ditentukan oleh dua hal penting: potensi dan kredibilitas.

Yang dimaksud potensi tidak lain adalah kemampuan sang pengancam untuk mewujudkan ancamannya. Sementara kredibilitas adalah penilaian dari orang yang diancam atas keseriusan ancaman sang pengancam (agak ribet ya :D). Tanpa dua hal ini ancaman menjadi tidak bergigi dan tidak mungkin mewujudkan komitmen.

Apa yang dilakukan oleh Athena persis menggambarkan ini, potensi dan kredibilitas. Thucydides menulis bahwa Athena mendatangkan bala tentara yang cukup besar: 30 kapal yang dimiliki oleh Athena sendiri, 1600 infantri berat, 300 pemanah, dan sekitar 1500 pasukan infantri yang dimiliki oleh negara-negara kecil dibawah persekutuan Athena. Disini Athena bermaksud mengirim pesan ke Melos bahwa ancamannya serius. Dilihat dari dialog pada the Melian dialogue, Melos menangkap baik pesan Athena ini.

Namun dalam dialog ini ditunjukkan bahwa pada saat yang bersamaan Melos juga berusaha mempengaruhi persepsi negosiator Athena, mencoba membongkar keseriusan Athena untuk mewujudkan ancamannya dan tidak jarang mengeluarkan nada yang seolah-olah menakut-nakuti Athena untuk menunjukkan bahwa keputusannya menjatuhkan Melos adalah keputusan yang tidak tepat.

Di sisi lain, tampaknya tim negosiator Athena bukan negosiator yang memiliki kesabaran (patience)-mungkin juga karena merasa memiliki kekuatan militer yang tangguh. Padahal dalam bargaining game semacam ini kesabaran adalah hal penting untuk mencegah terjadinya break-down dalam negosiasi (yang dikemudian waktu ini terjadi). Tim negosiator Athena mengatakan:

For ourselves, we shall not trouble you with specious pretences-….-and make a long speech which would not be believed; and in return we hope that you, instead of thinking to influence us by saying that you did not join the Lacedaemonians, although their colonists, or that you have done us no wrong, will aim at what is feasible, holding in view the real sentiments of us both; since you know as well as we do that right, as the world goes, is only in question between equals in power, while the strong do what they can and the weak suffer what they must“.

Dari posting Philips, penggalan yang saya highlight hitam adalah penggalan yang dijadikan dasar bagi paradigma realis dalam teori hubungan internasional. Namun Melos mencoba mengoyahkan pikiran negosiator Athena dengan mengatakan:

“…you are as much interested in this as any, as your fall would be a signal for the heaviest vengeance and an example for the world to meditate upon

Melos berusaha membuat Athena berpikir ulang mengenai rencana untuk menundukannya. Namun negosiator Athena tampaknya paham bahwa menjadi keras kepala kadang dibutuhkan dalam negosiasi (bargaining).

Hal menarik lain yang diperlihatkan dari dialog ini tidak lain bagaimana Athena terkesan memimpin dalam proses negosiasi dan Melos lebih merespon argumentasi Athena. Penggalan-penggalan diatas menunjukkan bahwa Melos tidak berada dalam situasi yang memimpin negosiasi ini. Tidak mengherankan bila kemudian argumentasi Melos lebih bersifat konstruktif. Salah satu penggalan penting yang dinilai sikap konstruktif Melos dan kemudian menjadi rujukan pandangan idealis dalam karya Thucydides ini adalah kata-kata Melos:

So that you would not consent to our being neutral, friends instead of enemies, but allies of neither side

(saya highlight karena penggalan ini memberikan konsep tentang pemikiran idealis dalam teori HI)

Yang kemudian dibalas oleh Athena :

No; for your hostility cannot so much hurt us as your friendship will be an argument to our subjects of our weakness, and your enmity of our power

Dari penggalan dialog ini terlihat Athena menggunakan apa yang disebut dalam teori bargaining “the power of intransigence” atau dalam bahasa kasar adalah kekuatan dari sikap keras kepala. Dalam banyak hal sikap keras kepala membantu meningkatkan kekuatan bargaining. Namun penggalan dialog ini menyimpan hal lain. Komitmen yang ditawarkan oleh Melos melalui janji untuk bersikap netral dinilai tidak kredibel dan tidak memiliki potensi di mata Athena. Jawaban Athena di atas menunjukkan itu.

Tetapi dialog ini mungkin bisa juga memiliki interpretasi lain. Mungkin saja Athena percaya atas niat baik Melos yang konstruktif dan mungkin saja Melos memang bersikap konstruktif. Akan tetapi Athena terlanjur datang dengan bala tentara besar yang siap perang. Kemudian, duduk di meja perundingan dan bernegosiasi dengan Melos, sementara bila menghasilkan keputusan yang menempatkan Melos sebagai kawan yang netral dan setara, ini  dapat memberikan sinyal bahwa Athena lemah tidak saja di mata Melos tetapi juga Sparta. Athena tidak ingin kehilangan muka dan kredibilitas pada situasi perang seperti ini. Artinya negosiasi Athena-Melos memberikan sinyal tidak saja kepada Melos tetapi juga kepada Sparta lawan besar Athena.

Dalam banyak penggalan, seperti yang Philips katakan dalam blognya, Melos memang bersikap lebih konstruktif dan menawarkan konsep “security with”. Namun pertanyaannya kemudian apakah Melos sesungguhnya menawarkan konsep ini dari pemikiran yang matang dan dari sejak awal, ataukah bahwa konsep ini sebetulnya lahir serta-merta sebagai respon atas reaksi Athena di dalam proses negosiasi ini.

Saya cenderung membuka peluang kemungkinan yang terakhir, dimana mungkin saja bahwa Melos yang dinilai sebagai sosok idealis sebetulnya juga sosok yang realis. Karena, bila memang konsepsi netralitas sudah menjadi asas bagi Melos, mengapa, sebelum negosiasi ini, Melos bergabung dengan Sparta.

Dalam The Melian Dialogue kita bisa melihat dua cara berbeda untuk mewujudkan komitmen. Athena datang dengan ancaman dan ancaman ini mengandung nilai potensi dan kredibilitas. Dengan menunjukkan kekuatan militer dan menghancurkan Melos, Athena menunjukkan potensi sekaligus kredibilitas dari ancamannya. Di lain pihak, Melos datang dengan janji. Akan tetapi janji Melos ini tanpa nilai potensi dan, terpenting, kredibilitas dari janji Melos ini dipertanyakan-mengapa menawarkan sikap netral di meja perundingan bila sebelumnya bergabung dengan Sparta.

Negosiasi ini akhirnya gagal karena setidaknya beberapa hal. Pertama power of intransigence (menjadi keras kepala) tidak selamanya memberikan nilai positif bagi keberhasilan proses negosiasi, meski mungkin meningkatkan posisi daya tawar. Ditambah dengan sikap tidak sabar dari Athena dalam proses negosiasi. Yang tidak kurang adalah janji (promise) yang coba ditawarkan oleh Melos untuk membangun komitmen tidak kredibel dan tanpa potensi. Akan tetapi dilihat dalam konteks strategi yang lebih luas, pilihan Athena untuk menghancurkan Melos mungkin juga dapat diinterpretasikan bahwa Athena memberikan sinyal kepada Sparta dan koloni persekutuannya bahwa Athena cukup serius dengan ancamannya. Kredibilitas dari sebuah ancaman (ataupun janji) selalu penting dalam meja perundingan.

Kisah the Melian Dialogue menurut saya sangat menarik, karena itu menggambarkan jelas sekali bagaimana negosiasi berlangsung. Sepertinya saya harus menunjukkan kisah The Melian Dialogue ini kepada prof saya :D.


Tinggalkan komentar

Filed under Bargaining, Game-theory, Komitmen, Melian Dialogue, Peloponnesian War, Realisme, Teori Hubungan Internasional, Xenophon

Xenophon, The Melian Dialogue dan Komitmen (1)

Dalam minggu-minggu ini saya mesti mencari paper ilmiah tentang non-cooperative game yang dinilai memiliki kontribusi signifikan dalam ranah game-theory. Ini tugas dari mata kuliah Micro Analysis 2 yang hampir seluruhnya berisi non-cooperative games, bargaining dan evolutionary games. Artikel yang dipilih harus presentasikan didepan kelas dan, ini bagian tersulit, menunjukkan kontribusi signifikan serta aplikasi dari konsep (teori) dalam artikel tersebut.

Ketika mencari topik, saya menemukan beberapa buku Thomas C Schelling-saya sempat membahas sekilas Schelling disini. Beberapa diantaranya, Micro motives and Macro behavior (1978), The Strategy of Conflict (1966) dan Strategies of Comittment and Other Essays (2006). Dua yang pertama saya sempat membacanya, meski belum selesai. Buku terakhir ini buku Schelling yang relatif baru, dipublikasikan tahun 2006. Sebetulnya ada beberapa karya Schelling lain tapi saya ingin membaca lagi buku-buku ini dulu.

Dalam buku Strategies of Comittment, Schelling mengawali ceritanya dengan mengutip kisah Xenophon, seorang Yunani, yang bergabung dengan ekspedisi pasukan Cyrus the Younger dalam menghadapi pasukan persia. Berhubung saya tertarik dengan kisah Xenophon ini, saya mencari penggalan kisah ini dan menemukannya dalam Anabasis cerita tentang ekspedisi ke persia yang ditulis sendiri oleh Xenophon. Saya mendapati terjemahan bahasa inggris Anabasis yang dikutip oleh Schelling berbeda dengan terjemahan inggris yang saya dapatkan dari intenet (Project Gutenberg). Maklum namanya juga gratis :D. Meski esensinya sama.

Dalam Anabasis versi terjemahan H. G. Dakyns, Xenophon bertutur (saya highlight beberapa poin penting):

For my part, I would rather at any time attack with half my men than retreat with twice the number. As to these fellows, if we attack them, I am sure you do not really expect them to await us; though, if we retreat, we know for certain they will be emboldened to pursue us. Nay, if the result of crossing is to place a difficult gully behind us when we are on the point of engaging, surely that is an advantage worth seizing. At least, if it were left to me, I would choose that everything should appear smooth and passable to the enemy, which may invite retreat; but for ourselves we may bless the ground which teaches us that except in victory

Penggalan ini respon dari Xenophon terhadap seorang jenderal yang mengabarkan bahwa pasukan Xenophon berada pada situasi yang amat sulit antara menghadapi jurang yang hampir tidak bisa dilewati atau melawan pasukan persia. Dengan kata lain hampir tidak mungkin pasukan Xenophon untuk lolos dari kedua hambatan ini bersamaan.

Situasi sulit ini menyempitkan pilihan bagi pasukan Xenophon (antara masuk jurang yang dalam atau melawan pasukan persia). Sementara pasukan persia yang menghadang pasukan Xenophon memiliki ruang bergerak yang bebas termasuk pilihan untuk mundur. Bagi Xenophon situasi sulit ini justru menguntungkan pasukannya, karena ketimbang mati sia-sia, pasukannya mau tidak mau harus melawan pasukan persia. Sementara itu pasukan persia yang memiliki lebih banyak opsi dan strategi akan cenderung lebih mudah memilih mundur ketimbang melawan habis-habisan pasukan Xenophon. Argumentasi Xenophon benar dan Anabasis mengisahkan bahwa pada akhirnya Xenophon berhasil membawa pasukannya kembali ke Yunani.

Esensi cerita yang dikutip oleh Schelling ini adalah bahwa Xenophon bersama pasukannya berkomitmen bersama-sama untuk menghadapi pasukan persia. Komitmen berarti mengikat dan mewajibkan orang yang berkomitmen untuk melakukan suatu aksi tertentu. Dan komitmen ternyata pula mengurangi pilihan-pilihan yang ada dan menghilangkan kemungkinan individu melakukan sesuatu diluar yang sudah disepakati. Dalam hal ini, komitmen mempengaruhi pilihan-pilihan individu.

Bersamaan dengan membaca kisah Xenophon ini saya tiba-tiba teringat bahwa Philips, kawan di CSIS, sempat mengutip kisah Peloponnesian War di blognya disinikarena Xenophon lahir persis pada zaman Peloponnesian War. Salah satu kisah dalam the Peloponnesian War yang ditulis oleh Thucydides, seorang filsuf Yunani, yaitu The Melian Dialogue.

Dari posting itu saya mendapatkan kesan bahwa kisah ini merupakan kisah penting yang menjadi dasar bagi paradigma realisme dalam teori hubungan internasional. Hal menarik yang dikemukakan oleh Philips, bahwa kisah ini tidak saja bertutur mengenai paradigma realisme namun juga pemikiran idealis sekaligus (mazhab pemikiran dalam teori hubungan internasional).

Berhubung saya bukan ahli soal hubungan internasional saya tidak memiliki kapasitas untuk mendefinisikan pemikiran-pemikiran yang ada dalam teori hubungan internasional. Akan tetapi The Melian Dialogue memberikan kisah menarik lain bagi saya, yaitu soal komitmen, threat dan bargaining. Kisah yang sebetulnya serupa dengan kisah Xenophon namun tidak sepenuhnya sama.

Tinggalkan komentar

Filed under Bargaining, Game-theory, Komitmen, Melian Dialogue, Peloponnesian War, Realisme, Teori Hubungan Internasional, Xenophon